Sabtu, 13 November 2010

Mentawai

Gempa, dari Berkah Menjadi Musibah
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga Dusun Rakrakjoja beserta anak-anak mereka menunggu angkutan untuk membawa kelapa yang akan dijual di Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa (9/11). Minimnya sarana transportasi di wilayah tersebut mengharuskan mereka menunggu kendaraan hingga berjam-jam atau berjalan kaki belasan kilometer untuk pergi ke pusat kota atau berobat.
TERKAIT:

ARYO WISANGGENI G
Jika teteu kabaga datang, orang Mentawai bersukaria, melantunkan syair mengenang kebaikan para leluhur. Teteu kabaga, yang artinya gempa, dalam persepsi orang Mentawai adalah berkah.
Gempa di Mentawai biasanya diikuti musim buah dan tangkapan ikan yang melimpah. ”Orang Mentawai selalu gembira jika gempa datang. Leluhur kami tidak pernah tahu pahitnya gempa. Ketika melihat bencana tsunami di Aceh pada 2004, baru kami tahu gempa itu menakutkan,” kata Kortanius Sabeleake’ (41), pemerhati masyarakat adat Mentawai.
Pegawai Madrasah Tsanawiyah Swasta Sikakap, M Jusuf Tasiringengek (40), mengisahkan masa kecilnya di Uma (Dusun) Silaoinan Hulu di tepian Sungai Silaoinan, Pulau Siberut. ”Saya dibesarkan di dusun yang jauhnya dua hari bersampan untuk mencapai pantai. Sebagai anak adat Mentawai, saya belajar cara membuat ramuan, belajar mantra-mantra, belajar berburu, dan menokok sagu dari orangtua saya,” katanya.
Namun, ia tidak mendapat kearifan lokal soal gempa, selain bertiarap di luar rumah dan bersyukur menyambut gempa. Berbeda dengan masyarakat adat di pesisir Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam, yang secara turun-temurun memiliki pengetahuan tradisional yang membuat mereka tahu bahaya gempa dan tsunami. ”Baru 25 Oktober lalu kami merasakan pahitnya gempa yang berujung tsunami,” katanya.
Sejatinya orang Mentawai bukan orang pesisir. Dahulu mereka hidup secara berkelompok, tinggal di rumah panjang di tepian sungai yang disebut uma. Sejumlah uma tua di Mentawai—seperti Uma Silaoinan, Saibi, atau Bojakan di Pulau Siberut; Uma Saureunuk dan Sagicik di Sipora; serta juga Uma Taikako dan Silabu di Pulau Pagai Utara—berada di hulu sungai yang berjarak 10 kilometer lebih dari pantai.
”Uma adalah rumah adat suatu marga dalam sistem kekerabatan Mentawai yang patrilineal. Uma berisi 5-25 kepala keluarga. Setiap uma dipimpin rimata dan sikerei. Rimata adalah pemimpin uma, mengatur hidup warganya secara otonom, tidak tunduk kepada uma lain. Sikerei adalah pemuka agama tradisional orang Mentawai, yaitu Arat Sabulungan. Sikerei mengatur waktu berburu, masa pantangan, dan menjadi tabib di umanya,” kata Sabeleake’.
Uma berdiri di atas tiang pancang yang ditanam dalam-dalam, menjadi tiang lantai rumah panggung yang tingginya sekitar 3 meter dari tanah. Tiang pancang itu melindungi orang Mentawai dari luapan air sungai di dusunnya.
Setiap uma memiliki tanah ulayat yang menjadi areal perburuan warganya. Sungai menjadi alat transportasi, juga lumbung pangan. ”Sungai tempat mencari ikan. Orang Mentawai biasa menyimpan sagu tokokannya di dasar sungai, dan tepung sagu bisa bertahan 6-12 bulan. Masyarakat adat Mentawai tidak mungkin hidup tanpa sungai,” kata Sabeleake’.
Ketika uma terlalu padat, sebagian anggotanya harus mencari tempat tinggal lain dan mendirikan uma baru. Lambat laun orang Mentawai dari Pulau Siberut menyebar hingga mencapai Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan.
Dipaksa ke pantai
Pergeseran orang Mentawai menjadi pemukim pesisir adalah sejarah panjang yang sarat konflik dan guncangan sosial. Sabeleake’ menuturkan, para misionaris Nasrani yang menembus Pagai Utara sejak 1901 mulai mengajak orang Mentawai meninggalkan Arat Sabulungan.
”Ketegangan terjadi karena masyarakat adat Mentawai menolak. Namun, para misionaris didukung Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1916, para misionaris memerintahkan pembakaran semua alat upacara Arat Sabulungan,” ujar Sabeleake’.
Pola yang sama berlanjut setelah Indonesia merdeka. Saat para misionaris mencapai Pulau Sipora dan Siberut, pemerintah dan gereja membangun pusat pelayanan pemerintahan dan pelayanan umat di pesisir.
”Setiap urusan pemerintah hanya melibatkan wali nagari, para pedagang Minang dan Batak yang mahir berbahasa Indonesia, serta para misionaris. Orang Mentawai mendapati, rimata dan sikerei bukan lagi panutan, digeser oleh pemerintah dan gereja,” ujar Sabeleake’.
Perlahan tetapi pasti, masyarakat adat Mentawai mendekati kutub pemerintahan dan gereja di pesisir. Orang Mentawai tak lagi makan sagu dan memilih beras. Muncul permukiman baru di pesisir, antara lain, Dusun Malakopak dan Surat Aban di Pagai; Dusun Matobe atau Beriulou di Siberut akhir 1960-an.
Saat gempa mengguncang Mentawai pada tahun 2007, pemerintah dan gereja merelokasi dusun yang rawan tsunami, salah satunya Beleraksok. Namun, rentang waktu 30 tahun membuat orang Mentawai pesisir telanjur bergantung pada perekonomian pesisir, hidup dari mencari ikan dan mengolah kopra.
Tsunami 25 Oktober menewaskan 5 warga Dusun Beleraksok dan menyeret hilang 4 orang. ”Mereka yang tewas ialah yang menginap di Dusun Beleraksok lama. Tiap Senin-Sabtu pagi kami tinggal di dusun lama mencari penghidupan. Sabtu siang kami pulang ke dusun baru, dan turun ke dusun lama Senin pagi,” kata Kepala Dusun Beleraksok, Rowelik (38).
Relokasi warga Mentawai pesisir ke permukiman yang jauh dari pantai kembali diwacanakan pemerintah. Namun, Sabeleake’ mengingatkan, tanpa akses penghidupan yang memadai, orang Mentawai yang telanjur hidup di pesisir pasti akan kembali ke pesisir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar